Beranda Berita Kenaikan HET Pupuk Berpotensi Timbulkan Krisis Pangan

Kenaikan HET Pupuk Berpotensi Timbulkan Krisis Pangan

298
0

Kenaikan harga eceren tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang mulai berlaku 1 Januari 2021 dikhawatirkan akan mempersulit posisi petani. Hal ini bisa berpotensi mendorong terjadinya krisis pangan, seperti yang dikhawatirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini.

Kekhawatiran itu disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Evita Nursanty menyoroti perbedaan nasib petani dengan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada masa pandemi.

Berdasarkan harga terbaru yang diterbitkan Kementerian Pertanian melalui Permentan 49/2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021, pupuk bersubsidi rata-rata naik Rp 300 sampai Rp 450. Urea, misalnya, naik dari Rp 1.800/kg menjadi Rp 2.250/kg, SP36 naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.400, ZA naik dari Rp 1.400 menjadi Rp 1.700, Organik Granul naik dari Rp 500 menjadi Rp 800, dan untuk NPK tetap Rp 2.300.

Menurutnya, kenaikan harga pupuk bersubsidi membuat petani semakin sulit. Sebab, biaya produksi meningkat, apalagi pandemi selama 10 bulan terakhir semakin membuat daya beli petani menurun. Dalam kondisi ini, kata Evita, mempertahankan harga dan sekaligus menjamin alokasi dan distribusi pupuk adalah keberpihakan yang diharapkan petani.

“Kenaikan HET pupuk bersubsidi menyebabkan peningkatan biaya produksi. Kemudian, pada masa pandemi Covid-19 ini pemenuhan kebutuhan pangan merupakan prioritas nasional, sehingga diharapkan ada kemudahan dari sisi harga maupun dalam penyaluran pupuk bersubsidi agar tidak mengganggu pencapaian produksi pangan,” kata Evita.

Apa yang dikhawatirkan Evita Nursanty itu sama seperti yang disampaikan Presiden Jokowi pada yang mengatakan bahwa sektor pertanian semakin memiliki peran penting saat pandemi Covid-19 untuk mencegah krisis pangan, sebagaimana juga diingatkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

“Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti jangan sampai terjadi krisis pangan, misalnya kasus kedelai beberapa minggu lalu, yang memicu produsen tempe dan tahu berhenti produksi. Tetapi, di lapangan, kita melihat banyak kesulitan yang dihadapi para petani, apalagi ditambah dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi per 1 Januari 2021. Jadi, sekali lagi, coba bandingkan posisi petani dengan pelaku UMKM. Begitu banyak perhatian dan bantuan untuk UMKM selama pandemi, tetapi kepada petani sangat minim,” ujar Evita.

Dia mengambil contoh Kebupaten Grobogan, yang merupakan sentra tanaman kedelai dengan varietas Grobogan sebagai unggulan serta sentra tanaman padi dan jagung. Di sini, ujarnya, penggunaan kartu tani masih mengalami berbagai kendala kalau dipaksakan, terutama ketidaksiapan perangkat kartu tani dan Electronic Data Capture (EDC) pendukungnya.

Selain itu masih ada sejumlah kartu tani yang belum tercetak, banyak kartu tani yang kosong, hilang, nonaktif, dan belum semua petani memiliki kartu tani karena kendala bank yang belum bisa memenuhinya.

“Pilihan untuk memasukan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok tani secara elektronik (e-RDKK) mengenai pupuk tunggal dan pupuk majemuk menjadikan kesulitan penerapan di lapangan, karena pemenuhan alokasi, terutama NPK, tidak sesuai usulan RDKK,” kata Evita.

Dikatakan pula, pengembangan kedelai terkendala dengan harga jual yang tidak sesuai dengan Permendag Nomor 7 tahun 2020 mengenai pembelian kedelai di tingkat petani Rp 8.500/kg. Selama ini harga masih di bawah acuan Permendag tersebut dan diharapkan pemerintah pusat bisa menerapkannya.

Kemudian, Kabupaten Grobogan juga krisis tenaga penyuluh. Sebagai sentra tanaman padi, jagung, dan kedelai dengan luas lahan sawah 83.000 ha, saat ini hanya ada 83 penyuluh, sehingga setiap penyuluh membina 1.000 ha. Evita berharap pemerintah pusat bisa menambah penyuluh penyuluh pertanian, terutama di Kabupaten Grobogan.

Demikian juga dengan penurunan dosis pupuk urea untuk jagung dari 300 kg/ha menjadi 175 kg/ha dan untuk padi dari 250 kg/ha menjadi 150kg/ha belum tersosialisasi. Hal itu karena dasar penurunan dosis tersebut masih belum ada petunjuk teknis atau penjelasannya.

Evita juga mengimbau, ada antisipasi dari pemerintah pusat untuk menghindari penurunan harga gabah di daerah sentra. Sebab, kata dia, panen raya padi dilakukan hampir serentak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here