Beranda Berita Arwin Mega Menanggapi Terkait Situs Reje Linge

Arwin Mega Menanggapi Terkait Situs Reje Linge

350
0

Ketua DPRK Aceh Tengah, Arwin Mega adakan pertemuan dengan delegasi pimpinan DPRK Gayo Lues yang berkunjung ke Takengon pada Sabtu (17/4/2021).

Dalam Pertemuan yang mendiskusikan Situs Reje Linge dihadiri oleh Pimpinan DPRK Gayo Lues yaitu H. Ali Husin, SH (Ketua), H. Ibnu Hasim, S.Sos., MM (Wakil Ketua), dan H. Gayommad Rauh, SE (Wakil Ketua).

Ketua DPRK Aceh Tengah, Arwin Mega mengatakan Situs Reje Linge milik Gayo serumpun, meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Gayo Lokop-Serbejadi Aceh Timur, Gayo Kalul, Aceh Tamiang, karenanya harus dikelola bersama.

“Asal Linge Awal Serule, merupakan ungkapan yang meneguhkan keberadaaan Linge sebagai puncak dari komunitas Gayo tersebar di enam kabupaten tersebut,” kata Ketua DPRK Aceh Tengah, Arwin Mega.

Politisi Partai PDI Perjuangan itu, menyatakan Kerajaan Linge yang berpusat di Buntul Linge, masuk dalam wilayah Kecamatan Linge Aceh Tengah, berdiri pada 1025 Masehi oleh Meurah Genali atau Bujang Genali dan termasuk Kerajaan tertua di Aceh.

Arwin Mega mengatakan, pihaknya melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah akan membahas situs Reje Linge bersama enam kabupaten yang terkait dengan keberadaan suku Gayo, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Timur, Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang.

Arwin Mega menambahkan bahwa penelitian yang akan dilakukan akan melibatkan para pakar untuk memperkuat eksistensi Orang Gayo seperti termaktub dalam ungkapan “Awal Linge Asal Serule.”, seyogiayanya situs Reje Linge menjadi situs milik bersama oleh Gayo Serumpun dan pengelolaannya pun harus dengan cara bersama-sama.

Ia juga menyarankan agar adat dan budaya Gayo diaktualisasi kembali dalam kehidupan masyarakat sehari-hari seperti tutur yang mulai luntur.

“Sekarang banyak yang sudah bergeser. Kita tidak lagi memelihara adat dan budaya tutur yang seharusnya kita jaga. Semua sudah campur aduk. Padahal orang Gayo punya sebutan sendiri yang disebut tutur dalam tatanan kekerabatan,” demikian Arwin Mega.

Selain itu, katanya, sampai saat ini belum ada buku-buku ilmiah berbahasa Gayo asli. Bahasa yang mengandung makna atau “Peri Mestike” yang sangat sulit untuk dipahami.

Ia berharap buku tersebut dapat dituntaskan sebagai wujud eksistensi dan mengetahui lebih jauh tentang bahasa adat Gayo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here